Selasa, 09 Juli 2013

Reformasi Polisi Bangsa Indonesia

oleh : Muhammad Husna Mubarok
Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan


Setelah sekitar 11 tahun reformasi Polri berlangsung, kini kinerja polisi menjadi sorotan tajam.
Sorotan ini menyeruak di tengah gonjang-ganjing masyarakat yang melihat indikasi polisi melakukan kriminalisasi terhadap pejabat (nonaktif) KPK, Bibit dan Chandra. Terungkapnya rekaman pembicaraan antara Anggodo dengan beberapa petinggi polisi, yang diduga sebagai upaya rekayasa terhadap proses hukum, telah mengebiri dan mengaborsi alasan keberadaan cita-cita polisi. Inilah bukti nyata bahwa lembaga Polri perlu dibenahi.

Gonjang-ganjing polisi menjadi perdebatan penting saat terjadi konflik kepentingan antara masyarakat dan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan politik. Peristiwa itu tidak menggembirakan jika dilihat dari upaya membangun polisi profesional. Terlebih dalam upaya reformasi, memisahkan Polri dari struktur, kultur, dan konten TNI masih merupakan bayang-bayang ketimbang realitas.

Kini masyarakat sedang menggugat Polri. Gugatan itu patut mendapat perhatian serius jika Polri benar-benar hendak mereformasi diri dan tidak ingin dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Tanpa keseriusan dalam melaksanakan reformasi kelembagaan, citra dan reputasi Polri akan kian terpuruk. Citra polisi tidak bisa dicapai hanya dengan menunjukkan prestasi kerja saja, perubahan kelembagaan merupakan syarat utama.

Dari hari ke hari, tantangan yang dihadapi Polri kian bervariasi dan kompleks. Kultur polisi lama yang represif, arogan, eksklusif, dan merasa paling benar tidak layak lagi untuk digunakan. Norma-norma demokrasi, seperti kesetaraan, keadilan, independen, dan transparan, harus menjadi pedoman kerja Polri sehari-hari.

Refleksi reformasi Polri

Reformasi Polri dimulai sejak dipisahkannya organisasi kepolisian dari lingkungan militer berdasarkan TAP MPR No VI Tahun 2000 tentang Pemisahan Polri dari TNI dan TAP MPR No VII Tahun 2000 tentang Peran Polri dan TNI.

Selanjutnya Polri menyusun Buku Biru Reformasi Menuju Polri yang Profesional, yang berisi rumusan perubahan dari aspek struktural, meliputi perubahan posisi kepolisian dalam ketatanegaraan, bentuk organisasi, susunan, dan kedudukan. Aspek instrumental meliputi perubahan filosofi, doktrin, fungsi, kewenangan, dan kompetensi. Aspek kultural meliputi perubahan sistem perekrutan, pendidikan, anggaran, kepegawaian, manajemen, dan operasional kepolisian.

Dalam proses reformasi, elite politik telah mendudukkan otonomi kepolisian secara luas, seperti menempatkan Polri di bawah Presiden, struktur kepolisian terpusat, mandiri dalam sistem penyidikan tindak pidana, mandiri dalam sistem kepegawaian, mandiri dalam sistem anggaran. Hal ini mencerminkan Polri sebagai bagian rezim kekuasaan yang menjauhkan diri dari kapasitas kontrol masyarakat.

Reformasi Polri seharusnya ditentukan bagaimana meletakkan lembaga kepolisian dalam negara demokrasi yang berbasis kekuatan masyarakat sipil. Secara normatif, fungsi kepolisian dapat ditetapkan sebagai: (1) penegak hukum, (2) penjaga ketertiban dan keamanan, dan (3) pelayan publik. Ketiga fungsi itu belum menggambarkan sesuatu, kecuali wilayah kerja yang perlu diisi berbagai konsep dalam konteks fungsionalisasi. Melihat kiprah elite politik itu, ada kekhawatiran ketiga fungsi kepolisian tersebut terisi oleh aspek-aspek yang tidak terkait upaya membangun kepolisian yang profesional.

Pengamatan ini tidak bermaksud untuk tidak menghargai kemajuan dan upaya yang telah dilakukan Polri dalam memperbaiki lembaga, tetapi upaya itu menunjukkan kemandirian polisi belum cukup saat bekerja berdasarkan konsepsi otonomi dan konsepsi jati diri dalam ruang negara yang masih melibatkan polisi sebagai instrumen kekuasaan.

Tidak jelas

Konsep reformasi Polri sendiri sebenarnya masih ada ketidakjelasan dalam: pertama, paradigma Polri terkait sistem keamanan dalam negeri selaras Undang-Undang Pertahanan Nomor 3 Tahun 2002, UU Pemerintahan No 32/ 2004, dan UU TNI No 34/2004.

Kedua, netralitas Polri dalam posisinya di bawah Presiden selaku kepala pemerintahan.

Ketiga, hubungan secara sistemik antara Polri dan PPNS, serta satuan-satuan pengamanan lainnya.

Keempat, bisnis polisi melalui yayasan Polri.

Kelima, lembaga eksternal pengawas aktivitas anggota Polri dalam melaksanakan tugas sehari-hari.

Implementasi reformasi Polri juga cenderung bersifat konvensional. Hal ini dapat dilihat dari: pertama, pelaksanaannya dari atas ke bawah, di mana satuan wilayah sekadar sebagai pelaksana kebijakan.

Kedua, tidak disertai ruang bagi satuan bawah untuk melakukan inovasi.

Ketiga, tidak disertai penghargaan dan hukuman.

Keempat, tidak disertai jaminan bahwa setiap pergantian pimpinan tidak akan terjadi perubahan kebijakan yang ditetapkan oleh pemimpin sebelumnya.

Dari gambaran singkat itu, tindak lanjut pemisahan Polri dari TNI tampak masih tidak jelas. Kebutuhan politik praktis seperti mengabaikan aspek mendasar dalam melakukan pembaruan lembaga kepolisian secara keseluruhan. Pemisahan Polri dari TNI yang semula diharapkan mampu mengubah polisi yang militeristik menjadi polisi sipil yang independen tampak menjadi paradoks dengan realitas politik. Bahkan, ada kekhawatiran pemisahan itu menjadi pintu masuk bagi penampilan politis kekuasaan transisi dari krisis legitimasi sosial yang hingga kini masih dihadapi (Widjojanto, 1999).

Jalan di tempat

Dari uraian itu, dalam reformasi Polri sebenarnya tidak sekadar menyangkut masalah teknis, tetapi juga menyangkut masalah strategis, yaitu (1) mendudukkan fungsionalisasi kepolisian dalam sistem ketatanegaraan, (2) membenahi dan mengembangkan profesionalisme kepolisian, dan (3) membangun lembaga independen yang kuat untuk mengawasi pelaksanaan tugas polisi sehari-hari di seluruh wilayah tugasnya.

Tanpa melakukan perubahan mendasar dengan dukungan pemerintah, Polri, dan masyarakat, reformasi Polri dapat diprediksi akan berjalan di tempat.

REPORTASE



MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Pendidikan Jurnalistik
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, MSI








Disusun Oleh:
Himatul Aliyah (103111112)
Husna (103111113)
Iin Setyani (103111114)


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013

REPORTASE
I. PENDAHULUAN

Kehadiran media massa di tengah perkembangan Ilmu dan teknologi semakin terasa penting. Informasi yang disajikan kepada khalayak pun harus semakin cepat dan tepat. Ketidaktepatan informasi yang sampai kepada khalayak akan menimbulkan ketidakpercayaan khalayak terhadap media massa tersebut dan ketidak tepatan menyampaikan informasi akan mengurangi kepercayaan pembaca. Perkembangan teknologi yang semakin canggih, menuntut kita sebagai manusia untuk memperoleh pengetahuan yang luas dengan memilih segala bentuk informasi penting melalui dari berbagai media. Reportase merupakan salah satu sumber informasi yang dianggap penting untuk di konsumsi. Selain itu, untuk memeperoleh informasi yang akurat, maka reportase lah solusinya. Berangkat dari permasalahan di atas, perlu kiranya kita mengkaji tentang reportase yang kami mulai dari pengertian sampai teknik penulisan reportase yang baik.

II. RUMUSAN MASALAH
A. Apa Pengertian Reportase?
B. Apa saja Jenis-jenis Reportase?
C. Bagaimana Strategi Reportase?
D. Bagaimana Teknik Menulis Hasil Reportase?

III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Reportase
Reportase pada dasarnya adalah suatu laporan secara menyeluruh yang berisinews ditambah dengan keterangan dan latar belakang, bahkan juga dapat disertai dengan kesimpulan-kesimpulan. Reportase dalam arti luas dapat disamakan dengan penerangan, menyampaikan sesuatu keterangan, apa sesungguhnya, di atas fakta dan data yang benar serta pendapat yang benar.[1]
Dalam referensi lain menyebutkan maksud dari reportase adalah laporan tentang sesuatu peristiwa yang ditulis untuk dimuat atau diisiarkan melalui mass media, diperdengarkan melalui radio atau ditayangkan melaui televisi. Menurut kamus Inggris – Indonesia karangan A.S. Hornby-E.C.Parnwell dan Siswojo, arti atau padanan dari reportase adalah melaporkan, memberi laporan, dan memberitakan.[2] Banyak pakar jurnalistik berpendapat bahwa reportase memberikan informasi tentang fakta semata, terutama fakta yang bersifat kontroversial, atau memberikan informasi yang menuntun masyarakat ke arah suatu pendapat. Raportase tidak memerlukan persyaratan timely (makna waktu). Ia memerlukan pendalaman tentang sesuatu yang menjadi obyek kunjungan. Sebagian orang menyebutnya depth news/reporting atau juga investigative report. Karena pengungkapan peristiwa disertai usaha memberikan arti pada peristiwa tersebut, menyajikan informasi, maka ada juga orang yang menyebutnya interpretative report. Reportase mendalam akan lebih mampu mengungkapkan dari pada sekedar laporan faktual. Suatu reportase dicari asal mula dan kelanjutannya. Dikaji latar belakang perisiwa, diperkirakan arah kecenderungan perkembangan paristiwa. Dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa lain yang akan memberi kelengkapan dan memperluas makna dari perstiwa pokok yang dijadikan berita (reportase).
Si pembaca kadang-kadang akan membawa tulisan itu pada dirinya. Jadi tulisan itu membawa pengaruh bagi seseorang. Di samping melihat dan mendengar keterangan-keterangan tentang obyek kunjungan, tulisan harus diperkaya dengan kepustakaan, karena apa yang ditulis pasti mempunyai rentetan satu sama lain.[3]
Kesimpulannya adalah reportase merupakan kegiatan dari dunia jurnalistik yang berupa pencarian data dan fakta secara mendalam sehingga dapat mengantarkan masyarakat kepada satu kesimpulan pendapat melalui berbagai media elektronik maupun media cetak.
B. Jenis-jenis Reportase
Dari pengertian reportase di atas mengantarkan pembagian jenis terhadap reportase. Menurut Koesworo dkk membagi reportase menjadi:
1. Reportase sederhana
Merupakan laporan-laporan yang dibuat oleh wartawan yang disajikan secara sederhana. Reportase sederhana bisa berupa laporan hasil perjalanan keliling. Reportase sederhana juga berupa laporan atau deskripsi tentang suatu peristiwa atau kegiatan yang memperhitungkan nilai berita. Reportase sederhana dapat disamakan dengan reportase faktual yang dikemukakakan Jacob Oetama (1987;195), yaitu reportase yang melihat suatu peristiwa hanya dari satu dimensi, dimensi linier, kronologi kejadian, itupun dilakukan secara sekilas.
2. Reportase mendalam
Reportase ini mempunyai 3 jenis yaitu,
a. Reportase interpretatif
Pada umumnya, reportase interpretatif dikerjakan oleh banyak wartawan. Reportase model ini, bertujuan untuk menjelaskan permasalahan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, banyaknya remaja yang bunuh diri, semakin merajalelanya pencopet dan penodong. Permasalahan ini disusun menjadi reportase dengan data-data yang dianalisis dari para pakar yang diwawancarai para wartawan disajikan untuk menjelaskan permasalahan yang terjadi.[4] Dalam bukunya yang berjudul Kiat Praktis Jurnalistik, Yurnaldi mendefinisikan reportase interpretatif sebagai pengungkapan peristiwa yang disertai usaha memberikan arti pada peristiwa tersebut, menyajikan informasi.[5]Jacob Oetama (1987: 195) juga menegaskan, dalam reportase interpretatif dikaji latar belakang peristiwa, diperkirakan arah kecenderungan
perkembangan peristiwa, dihubungkan dengan peristiwa lain yang akan memberi kelengkapan dan memperjelas makna dari peristiwa pokok yang dijadikan berita. Lebih jelasnya, untuk menyusun reportase interpretatif, wartawan terlebih dahulu mengumpulkan suatu analisis, kajian, dan interpretasi beberapa narasumber.
b. Reportase partisipatif
Pada dasarnya, reportase ini merupakan reportase yang lebih banyak ditentukan oleh permasalahan yang akan disajikan. Reportase partisipatif dibuat untuk menyajikan kehidupan sosial yang sebenarnya terjadi.
c. Reportase investigatif
Reportase investigatif adalah reportase yang mengangkat kasus-kasus kehidupan sosial yang ada. Kasus yang dipilih biasanya yang benar-benar berbobot untuk disajkan. Awalnya, permasalahan ini kelihatan samar-samar tapi benar-benar terjadi. Sebelum reortase ini disusun, wartawan perlu mengumpulkan data dengan penelitian yang berkesinambungan, sehingga tercipta laporan yang akurat, lengkap, dan bisa dipertanggungjawabkan. Karena untuk pengumpulan data harus dilakukan penelitian atau pelacakan, maka reportase ini disebut reportase investigatif. Permasalahan yang bisa diangkat misalnya: pejabat yang banyak memilki istri simpanan, penemuan kelompok pencuri kendaraan bermotor yang terorganisasi.[6]
C. Strategi Reportase
Reportase adalah laporan pandangan mata, baik langsung maupun tunda, dari lokasi peristiwa. Disini, reporter selain melaporkan apa yang dilihat di lapangan, juga memberikan tambahan informasi yang ada relevansinya dengan peristiwa yang sedang berlangsung, misalnya:
1. Latar belakang,
2. Maksud tujuan,
3. Dalam rangka apa peristiwa diadakan,
4. Hal serupa kapan pernah diadakan, dan lain –lain.
Sifat reportase adalah sistematis dan kronologis. Naskah reportase berbentukpointers yang berisi hal-hal penting saja dan yang ada kaitan dengan apa yang dilaporkan. Di sini, reporter dalam melakukan reportase tinggal mengombinasikan apa yang dilihatnya dengan referensi lain yang relevan, yang sudah dicatat dalam bentukpointers. Dalam proses reportase ini, reporter dituntut memiliki keterampilan dalam melaporkan, dan keterampilan ini hanya dapat diperoleh melalui pengalaman. Semakin banyak melakukan reportase, seorang reporter akan semakin matang dalam melakukan reportase langsung di lapangan. Sebelum melakukan reportase, seorang reporter perlu mempersiapkan diri secara sempurna, khususnya mencari bahan-bahan reportase yang relevan. Misalnya, pada peristiwa “Peringatan Hari Angkatan Bersenjata R.I. 5 Oktober”, materi reportase yang harus dipersiapkan antara lain:
a. Sejarah ABRI,
b. Siapa inspektur upacara dan komandan upacaranya,
c. Latar belakang komandan upacara,
d. Pasukan yang ikut upacara,
e. Penerima Bintang atau Satyalencana,
f. Alasan menerima Bintang atau satyalencana,
g. Atraksi yang ditampilkan,
h. Nama atau jenis tank dan persenjataan yang ikut defile,
i. Jenis pesawat dan formasi pesawat yang diperagakan,
j. Nama formasi barisan yang diperagakan, dan lain-lain.
Dengan bahan-bahan yang telah dipersiapkan secara matang sebelum melakukan reportase, reporter tidak akan kehabisan bahan dan kata-kata sehingga reportase dapat berjalan dengan lancar, tanpa ada kesalahan sedikit pun. Penjelasan masalah hangat dengan cara reportase dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
a. Siaran Langsung
Siaran Langsung adalah reportase yang dilakukan secara langsung di lapangan serta penyiaran gambar secara langsung kepada khalayak. Apa yang dilaporkan dan gambar apa yang diambil saat itu, langsung dipancarluaskan atau ditransmisikan, dan secara langsung dapat didengar atau ditonton oleh khalayak pendengar atau pemirsa. Pada siaran langsung, kesalahan ucapan reporter dapat langsung diketahui oleh khalayak. Oleh karena itu, reporter siaran langsung harus lebih ekstra hati-hati dalam melakukan reportase. Reporter yang melakukan reportase dapat dibantu oleh reporter lain dalam mencari dan mewancarai narasumber yang ada di tengah masyarakat atau di tengah-tengah hadirin. Di sini, reporter yang melakukan reportase juga bertindak sebagai anchoratau telangkai untuk mempersiapkan reporter lain melakukan wawancara dengan narasumber yang ditemui di lapangan.
b. Siaran Tunda
Pada siaran tunda, hasil reportase tidak disiarkan secara langsung kepada khalayak, tetapidirekam dulu dalam pita tape. Materi ini kan disiarkan sesuai waktu yang telah direncanakan. Jika sewaktu melakukan reportase terjadi kesalahan, kesalahan ini masih dapat diperbaiki atau dihilangkan di ruang pengeditan. Hal ini dimungkinkan karena siaranya bersifat tunda. Materi dapat pula disunting kembali untuk disesuaikan durasi waktunya dengan alokasi yang tersedia. Masa pengeditan ini disebut pascaproduksi. Materi siaran yang sudah siap siar disebut materi siap siar. Dengan demikian, perbedaan antara siaran langsung dan siaran tunda dapat dilihat dari materi siaranya. Jika “ diambil dan langsung disiarkan” disebut siaran langsung, tetapi jika“diambil tetapi tidak langsung disiarkan melainkan direkam dulu” maka disebut siaran tunda. Jadi, materi siaran tunda merupakan materi siap siar. Siaran langsung dan siaran tunda disajikan dalam bentuk reportase atau siaran pandangan mata. Keduanya merupakan bentuk penyajian penjelasan masalah hangat, dan bukan penyajian berita. Reportase adalah reportase, sedangkan berita adalah berita. Untuk reportase perlu juga kita memperhatikan kelayakan sebuah berita. Mulyadi (2003) menunjukkan adanya tujuh kriteria kelayakan berita, yaitu sebagai berikut:
1. Penting. Pengesahan RUU Sisdiknas bersifat penting karena menyangkut kepentingan rakyat banyak yang menjadi pembaca media bersangkutan. Maka, hal tersebut layak menjadi berita. Ini juga relatif tergantung dari khalayak pembaca yang dituju. Isu SBY, Megawati, dan JK menjadi calon presiden tentu penting untuk dimuat di HarianRepublika/ Kompas/ Media Indonesia. Namun, kurang penting dimuat di
majalah Gadis karena khalayak pembacanya berbeda.
2. Baru terjadi, bukan peristiwa lama. Peristiwa yang telah terjadi pada sepuluh tahun yang lalu jelas tidak bisa menjadi berita atau objek reportase.
3. Unik, bukan sesuatu yang biasa. Seorang mahasiswa yang kuliah tiap hari adalah peristiwa biasa. Akan tetapi, jika mahasiswa berkelahi dengan dosen didalam ruang kuliah, itu luar biasa.4. Asas keterkenalan. Kalu mobil Anda ditabrak mobil lain, hal itu tidak pantas menjadi berita. Namun, kalau mobil yang ditumpangi Sri Sultan ditabrak mobil lain, itu akan menjadi mobil dunia.
5. Asas kedekatan. Asas kedekatan ini bisa diukur secara geografis maupun kedekatan emosional. Banjir di Cina yang telah menghanyutkan ratusan orang masih kalah nilai beritanya dibandingkan banjir yang melanda Jakarta karena lebih dekat dengan kita.
6. Magnitude (dampak suatu peristiwa). Demonstrasi yang dilakukan oleh sepuluh ribu mahasiswa tentu lebih besar dampaknya dibanding demonstrasi oleh seratus mahasiswa.
7. Tren. Sesuatu bisa menjadi berita ketika menjadi kecenderungan yang meluas di masyarakat. Misalnya, sekarang orang mudah marah dan membunuh pelaku kejahatan kecil (pencuri, pencopet) dengan cara dibakar hidup-hidup.[7]
D. Teknik Menulis Hasil Reportase
Reportase merupakan kegiatan jurnalistik berupa meliput langsung ke lapangan, ke “TKP” (tempat kejadian perkara). Wartawan mendatangi langsung tempat kejadian atau peristiwa, lalu mengumpulkan fakta dan data seputar peristiwa tersebut. Fakta dan data yang dikumpulkan harus  memenehi unsur-unsur berita 5 W+1H – What (peristiwa apa),Who (siapa yang terlibat dalam peristiwa itu), Where (dimana kejadiannya), When(kapan kejadiannya), When (mengapa peistiwa itu terjadi), dan How (bagaimana proses kejadiannya).
Peristiwa yang diliput harus bernilai jurnalistik atau bernilai berita (news values), yakni aktual, faktual, penting, dan menarik. Peristiwanya sendiri secara garis besar terbagi menjadi dua: (1) Peristiwa yang diduga terjadi atau direncanakan terjadi, misalnya peristiwa perayaan hari ulang tahun, peresmian gedung, deklarasi partai, seminar dll. (2) Peristiwa yang tidak terduga kejadiannya, misalnya kebakaran, kriminalitas, kecelakaan lalu lintas, dsb. Dari segi subtansi atau jenis peristiwa, reportase bisa dilakukandengan dua cara, yaitu beat system dan follow up system. Beat system adalah sistem pencarian dan pembuatan bahan berita yang mengacu pada beat (bidang liputan), yakni meliput peristiwa dengan mendatangi secara teratur instansi pemerintah atau swast, atau tempat-tempat yang dimungkinkan munculnya peristiwa, informasi, atau hal-hal yang bisa menjadi bahan berita. Sedangkan follow up system adalah teknik meliput bahan berita dengan cara menindaklanjuti (follow up) berita yang sudah muncul. Dalam meliput peristiwa, penting diperhatikan hal-hal berikut:
a. Kode Etik Jurnalistik atau Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI)
b. Fainess Doctrine (Doktrin Kejujuran) yang mengajarkan, mendapatkan berita yang benar lebih penting daripada menjadi wartawan pertama yang menyiarkan atau menuliskannya.
c. Cover Both Side atau News Balance, yakni perlakuan adil terhadap semua pihak yang menjadi objek berita, dengan meliput semua atau kedua belah pihak yang terlibat dalam sebuah peristiwa. di. Cek dan Ricek, yakni meneliti kebenaran sebuah fakta atau data beberapa kali sebelum menuliskannya.[8] Pekerjaan membuat atau menyusun laporan erat kaitannya dengan pekerjaan seorang wartawan atau penulis untuk disiarkan melalui media massa. Dan di bawah ini, menjelaskan tentang cara atau teknik seorang wartawan menyusun laporannya guna menghasilkan berita yang layak untuk disiarkan:
a. Proses Penulisan
1) Wartawan menetapkan materi atau pokok persoalan yang akan diselidikinya atau dipelajarinya.
2) Membatasi topik atau pokok persoalannya dengan membuatkan formulasinya untuk dijadikan pedoman  dalam menggarap atau mengumpulkan fakta-faktanya di lapangan. Hal ini penting untuk menghindarkan terjadinya kerancuan pengertian dan kekaburan wilayah persoalan, lantaran beragamnya keadaan di lapangan yang satu sama lain seolah-olah berkaitan.
3) Mengumpulkan data, fakta dan informasi sebelum turun lapangan. Mencari dan melengkapi informasi, data, dan fakta di lapangan yang berkaitan erat dengan topik.
4) Seluruh informasi, data, dan fakta yang berhasil dikumpulkan, disaring dan dikelompokkan, dianalisa dan diinterpretasikan. Kemudian didiskripsikan dalama bentuk reportase.
5) Menyusun dan menuliskan semuanya sesuai dengan kaidah penulisan laporan populer dengan memperhatikan faktor-faktor yang paling menonjol dan menarik lebih dulu.
b. Struktur Penulisan
1) Judul
2) Pendahuluan (pembukaan, dikenal juga dengan sebutan intro atau lead).
3) Tubuh (body) yang memuat detail atau uraian:
a. Permasalahan
b. Pemecahannya atau alternatif-alternatif pemecahan
c. Alat-alat atau sarana yang dipakai.
4) Penutup; biasanya berisi pertimbangan, saran dan harapan atau ringkasan isi penulisan.
c. Menuliskan Tubuh Reportase
1) Susunlah fakta, data, dan informasi itu sedemikian rupa dengan menggunakan alinea
(paragraf) demi alinea dengan merincinya satu per satu. Setiap paragraf harus ada hubungan dengan paragraf sebelumnya atau menguraikan lebih rinci lagi pokok-pokok informasi pada paragraf yang mendahuluinya.
2) Rata-rata panjang kalimat yang mempunyai daya baca yang baik adalah terdiri dari 20 kata. Ini bukan berarti setiap kalimat panjangnya sedemikian, tetapi berkisar diantara itu. Bisa diselang-selingi antara panjang dan pendek, tetapi maksimal 45 kata.
3) Jika ternyata ada satu paragraf terlalu panjang segera saja dipotong atau dijadikan paragraf baru, demi lancarnya penyajian laporan. Sekalipun guru penulisan ilmiah menganjurkan agar dalam satu paragraf hanya memuat satu gagasan atau idea, demi mempertahankan sifat komunikatif laporan, pemenggalan paragraf biasa dilakukan wartawan.
4) Dalam menyusun paragraf demi paragraf tersebut, baru diingat faktor yang menyebabkan kebosanan pembaca karena muatan bacaannya terlalu sarat. Untuk menghindarinya jangan terlalu banyak menggunakan angka-angka atau istilah-istilah yang belum populer.
Penggunaan istilah (jargon) yang belum populer atau tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia harus dituliskan dengan tanda petik ”...” dan penjelasannya dituliskan dealam tanda kurung (...). Angka 1 sampai dengan 10 harus dituliskan dengan huruf, sedangkan
angka yang banyak nolnya di belakang, seperti: 1.000.000 dituliskan satu juta,
1.000.000.000 dituliskan satu milyar. Jumlah dari satu bilangan ung dituliskan dengan
angka disamping menggunakan simbol $ (dolar Amerika), Rp (Rupiah).
5) Tetaplah mengacu ke pokok permasalahan atau topik, sepanjang menjalin dan menyusun
data di setiap paragraf. Sebarkanlah informasi sepanjang cerita di setiap paragraf itu.
Jangan terlalu banyak menyusun detail fakta pada sebagian saja, apalagi dalam satu
paragraf. Sebaiknya hilangkan pelukisan detail yang tidak terlalu mengikat.
d. Menghilangkan Subjektifitas
Seorang wartawan yang mengumpulkan bahan laporannya adalah seorang yang
mewakili khalayak pembacanya, ia berperan sebagai mata, telinga dan hidung khalayak.
Harus disadari oleh seorang wartawan bahwa ia akan dituntut oleh khalayak tentang
ketepatan (akurasinya) dalam menangkap gejala fakta berita. Tuntutan khalayak pembaca itu
bisanya tanpa toleransi, terhadap setiap kekurangan dan kekhilafan laporan yang telah
disiarkan. Sebaliknya ia langsung memuji dan akan membaca setiap laporan wartawan
bersangkutan.
Untuk mempertahankan akuratnya sebuah laporan, kiranya diperhatikan hal-hal
yang dapat memengaruhi ketepatan (akurat) dan kejernihan reportase.
Petakanya bisa bermula dari saat wartawan berada di lapangan ketika melakukan
observasi, yakni dipengaruhi oleh hal-hal yang pada diri wartawan atau pada orang yang
menjadi sumber berita.[9]
Untuk lebih jelas memahami bentuk reportase yang sebelumnya telah kami paparkan di
atas mulai dari pengertian sampai pada teknik penulisannya, marilah kita lihat contoh bentuk
reportase berikut ini agar lebih memperdalam pemahaman kita tentang reportase. Kami
menyajikan contoh reportase Kompas tentang hasil riset Mudrajad Kuncoro dan kawan-kawan
mengenai pungutan liar (grease money) di Indonesia berikut ini:
Biaya Pungli Mencapai Rp3 Triliun Per Tahun
Biaya pungutan liar yang harus dibayar pengusaha yang bergerak di sektor industri
manufaktur berorientasi ekspor diperkirakan mencapai lebih dari tiga triliun rupiah per tahun.
Pungli itu meliputi uang atau barang yang perlu dikeluarkan pengusaha untuk preman, oknum
birokrasi pemerintah, dan oknum aparat di lapangan.
Hal itu terungkap dalam ringkasan hasil studi dari Pusat Studi Asia Pasifik Universitas
Gadjah Mada bekerja sama dengan United States Agency for International Development
(USAID) yang dipublikasikan dalam seminar di Jakarta, Selasa (27/7). Studi itu didasarkan pada
survey terhadap seratus perusahaan dari Jawa, Sumatera, dan Bali.
Dalam studi itu disebutkan bahwa pelaku usaha mengungkapkan pendapat yang
berbeda-beda mengenai pungutan liar (pungli). Namun, diperkirakan, biaya pungli itu bisa
mencapai 7,5 persen dari biaya ekspor.
Diasumsikan bahwa untuk nilai ekspor produk manufaktur sebesar RP4 juta per peti
kemas, biaya punglinya sendiri mencapai Rp 300.000,00 per peti kemas. Jika Indonesia
mengekspor produk hingga mencapai 10 juta peti kemas per tahun, biaya pungli mencapai RP 3
triliun.
Ketua Tim Studi Mudjarad Kuncoro mencontohkan di Jawa timur dalam pengurusan
dokumen ekspor dan impor di pelabuhan sudah diterapkan sistem pertukaran data elektronik
(electronic data interchange/EDI). Akan tetapi, pengurusan sistem EDI itu disubkontakkan
kepada suatu perusahaan jasa swasta lainnya di pelabuhan. Untuk mempercepat pengurusan
dokumen ekspor dan impor dengan sistem EDI pun akhirnya pengurus dokumen harus membayar
pungli. Pungli yang perlu dibayar sebesar Rp2000,00 per dokumen.
Mudjarad menambahkan bahwa dari segi lokasi, responden mengungkapkan pungli
banyak terjadi di jalan dan pelabuhan. Jumlah responden yang mengatakan pungli yang terjadi di
jalan sebanyak 48 persen, sedangkan pungli yang terjadi di pelabuhan sebanyak 35 persen.
Sementara itu, lanjut Mudrajad dari hasil survei tersebut terungkap bahwa oknum
yang paling banyak menerima pungli adalah oknum polisi serta Bea dan Cukai (BC). Responden
yang menjawab bahwa penerima pungli adalah oknum polisi mencapai 24 persen sedangkan
oknum BC sebanyak 21 persen.
Mengenai oknum yang paling banyak menerima pungli tersebut, ada juga responden
yang menjawab atau takut menjawab yaitu sebanyak 41 persen. Ironisnya, dari hasil studi itu
aparat pemda tidak diklasifikasikan sebagai institusi yang banyak menerima pungli. Responden
yang mengungkapkan bahwa penerima biaya tambahan yang dikeluarkan pengusaha adalah
pemda hanya 3 persen.
Mudrajad menjelaskan bahwa dari enam bidang usaha, industri manufaktur di
Indonesia juga dihadapi dengan komponen biaya yang cukup banyak. Misalnya, komponen biaya
bahan baku, tenaga kerja, tranportasi, listrik, bahan bakar minyak (BBM), telepon, air, pajak
pemerintah pusat, pajak pemerintah daerah, biaya lobi, dan biaya-biaya lainya.
Sebagai contoh, komponen biaya bahan baku di sektor indrusti tekstil rata-rata
mencapai 63,3 persen, industri garmen 55,5 persen, alas kaki 46,2 persen, kayu dan bambu 54,2
persen, mebel 44,4 persen, dan elektronik sebesar 53,6 persen dari total biaya produksi.
Secara rata-rata komponen biaya tenaga kerja di sektor indruksi tekstil mencapai
13,3 persen, industri garmen 17,4 persen, alas kaki 25,3 persen, kayu dan bambu 24 persen,
mebel 34,5 persen, dan elektronik 16,5 persen.
Ironisnya, bahan baku industri manufaktur masih banyak diimpor. Hal itu berarti,
komponen bahan baku lokal belum termanfaatkan secara msksimal untuk kepentingan indruksi
manufaktur.kondisi itu juga terlihat dari presentase industri yang berbasis sumberdaya alam tahun
2003 rata-rata hanya sekitar 10,1 persen. Sementara itu, di industri padat karya dan berbasis
tenaga kerja tidak terdidik sebesar 36,5 persen.
Dari hasil studi itu terlihat berbagai masalah yang terkait dengan regulasi pemerintah,
baik di mtingkat nasional maupun di tingkat lokal. Sebagai contoh, penerapan ketentuan eksportir
terdaftar produk industri kehutanan (EPTIK). Penerapan ketentuan itu tidak didukung dengan
infrastruktur yang memadai. Mengapa? Karena Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK)
yang dibentuk pemerintah tidak memiliki jaringan atau perwakilan di daerah. Akibatnya,
pengusaha harus mengurus surat pengakuan sebagai EPTIK di Jakarta.
“Bayangkan, pelaku usaha di daerah harus datang ke Jakarta hanya untuk mengurus
EPTIK,” kata Mudrajad. Hal itu membuktikan regulasi memang dapat semakin membebani
pengusaha.
Kondisi itu pun terus dirasakan oleh pengusaha mebel sekarang ini. Bahkan, Wakil
Ketua Umum Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo), Soenoto,
mengkritik biaya yang dipungut oleh BRIK dari anggoata. Biaya pungutan itu berkisar Rp
100.000,00 sampai Rp 25 juta per bulan. “Kita tidak setuju dan menolak membayar iuran
tersebut karena tidak jelas kegunaanya dan manfaatnya bagi pengusaha dan eksportir mebel,”
katanya.
Selain masalah regulasi yang memberatkan, biaya bongkar muat barang dari kapal ke
pelabuhan (terminal handing charge / THC) juga tidak terselesaikan sampai sekarang. Biaya
THC dinilai lebih tinggi dibandingkan biaya THC di negara-negara ASEAN. Upaya mantan
Menteri Perhubungan Agum Gumelar untuk menertibkan pelayaran asing yang memungut biaya
THC yang tinggi tidak jelas kelanjutanya. De facto,biaya THC masih dirasakan mencekik
eksportir.
Regulasi yang dinilai memberatkan tidak hanya datang dari pemerintah pusat,
melainkan juga pemerintah daerah. Sebagai contoh, di Jabotabek, berlaku ketentuan penmerintah
yang mewajibkan pedagang kaki lima diberi tempat usaha di pusat perbelanjaan.
Apa pun bentuk regulasi, hal tersebut menimbulkan biaya ekstra bagi pelaku usaha.
Belum lagi, biaya-biaya pungutan yang timbul. Misalnya, biaya atau barang yang harus diberikan
pengusaha kepada oknum birokrasi dan aparat di lapangan sebagai tanda terima kasih.
Terhadap persoalan klasik, yakni efesiensi pemerintah itu, Ketua Umum Asosiasi
Pertekstilan Indonesia (API) Benny Soetrisno mengatakan bahwa kalau pengusaha sering diminta
untuk survive dan meningkatkan daya saing industri dalam kondisi sekarang ini, pemerintah
seharusnya juga mampu meningkatkan tingkat daya saingnya. “Pemerintah perlu membandingkan
dengan pemerintah di negara lain. Apakah kebijakan pemerintah masih kompetitif dibandingkan
dengan kebijakan pemerintah di negara kompetitor?” kata Benny.
Sumber: kuncoro (2004)

IV. KESIMPULAN
Reportase merupakan kegiatan dari dunia jurnalistik yang berupa pencarian data dan fakta secara
mendalam sehingga dapat mengantarkan masyarakat kepada satu kesimpulan pendapat melalui berbagai
media elektronik maupun media cetak. Reportase mendalam akan lebih mampu mengungkapkan dari pada
sekedar laporan faktual. Suatu reportase dicari asal mula dan kelanjutannya. Dikaji latar belakang
perisiwa, diperkirakan arah kecenderungan perkembangan paristiwa. Dihubungkan dengan peristiwaperistiwa
lain yang akan memberi kelengkapan dan memperluas makna dari perstiwa pokok yang
dijadikan berita (reportase).
Koesworo dkk membagi reportase menjadi dua yaitu reportase sederhana dan reportase
mendalam. Dan reportase mendalam terbagi menjadi tiga yakni, reportase interpretatif, reportase
partisipatif dan reportase investigatif.
Peristiwa yang diliput harus bernilai jurnalistik atau bernilai berita, yang secara garis besar terbagi
menjadi dua: Peristiwa yang diduga terjadi atau direncanakan terjadidanperistiwa yang tidak
terduga kejadiannya.
Dari segi subtansi atau jenis peristiwa, reportase bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu beat
system dan follow up system.
Pekerjaan membuat atau menyusun laporan erat kaitannya dengan pekerjaan seorang wartawan
atau penulis untuk disiarkan melalui media massa.
Reportase yang ditulis seorang wartawan adalah suatu kejadian peristiwa yang berupa kenyataan,
atau realita. Dan fakta atau data yang dikumpulkan harus memenehi unsur-unsur berita 5 W+1H
– What (peristiwa apa), Who (siapa yang terlibat dalam peristiwa itu), Where (dimana
kejadiannya), When (kapan kejadiannya), When (mengapa peistiwa itu terjadi), dan How (bagaimana
proses kejadiannya).
Cara atau teknik seorang wartawan menyusun laporannya guna menghasilkan berita yang layak
untuk disiarkan: Proses Penulisan, Struktur penulisan, Menuliskan Tubuh Reportase, Menghilangkan
Subjektifitas



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Yanuar, Dasar-Dasar Kewartawanan, Padang: Angkasa Raya, 1992
Ermanto, Wawasan Jurnalistik Praktis, Yogyakarta: Cinta Pena, 2005
Kuncoro, Mudrajad, Mahir Menulis, Jakarta: Erlangga, 2009
M. Romli, Asep Syamsul, Jurnalistik Praktis untuk Pemula, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009
Yurnaldi, Kiat Praktis Jurnalistik, Padang: Angkasa Raya, 1992


PROFILE PEMAKALAH
1. Nama            : Himatul Aliyah
    Alamat          : Ds. Tambak Sari, Rowosari, kendal
2. Nama            : Iin Setyani
    Alamat          : Jl. Lamper Tengah Semarang Selatan
    Motto hidup  : Allah tidak akan memberikan apa yang kamu inginkan, akan tetapi Allah 
                          akan memberikan apa yang kamu butuhkan.
3. Nama            : Husna Mubarok
     Alamat          : Cirebon
     Motto Hidup : لا أقعد الجبن عن الهيجاء # ولو توالت زمر الأعداء

Kadun, Dari Petani Untuk Menjadi Calon Jurnalis

Kesadaran bahwa pendidikan begitu penting bagi anak-anaknya dan kewajiban menuntut ilmu menjadi penyemangat bagi Kadun untuk memperjuangkan keinginan anaknya menjadi calon jurnalis. Tak mengenal apa pekerjaan yang ia lakoni dan tak perduli berapa besar biaya yang dikeluarkan untuk membiayai sekolah anaknya.
Sejak tahun 2010, anaknya mulai duduk dibangku perkuliahan. Bermodalkan hasil sawah yang didapatkannya ketika musim panen lalu, ia mampu memasok kebutuhan biaya yang harus dibayarnya. Mulai dari pembayaran DPP jurusan Komunikasi yang agak mahal, semua pembayaran dikampus hingga pembayaran uang kos.
Kadun adalah seorang petani di sebuah desa yang terletak di kecamatan Pandaan, kabupaten Pasuruan. Umurnya yang sudah setengah abad tak mengahalangi niat baik anaknya untuk menuntut ilmu. Dia tak pernah bosan menjalankan rutinitas yang sudah lama ia lakoni sejak kecil. Mulai berangkat kesawah sebelum matahari terbit kemudian pulang untuk sholat dhuhur dan kembali lagi kesawah sampai sebelum matahari tenggelam.
“Begitulah rutinitas saya setiap hari, kami tak menyebutnya ke sawah melainkan ke kantor. Bukan hanya orang kota saja yang ke kantor. Petani seperti saya juga ke kantor, yakni sawah,” ucapnya dengan sedikit tawa.
Bapak beranak tiga ini tak ingin nasib anaknya berakhir seperti dirinya yang harus putus sekolah sejak Sekolah Dasar lantaran keterbatasan dana. Ia memang lahir dari keluarga miskin pasangan petani Syukur (alm) dan Warsini (alm). Semua pekerjaan ia lakoni untuk menutupi biaya hidupnya. Mulai menjadi petani, tukang panggul gabah hingga menjadi makelar gabah di desanya.
Jika petani lain akan kaya dengan hasil panennya ketika waktu panen tiba, tidak dengan petani yang satu ini. Pekerjaan yang dilakoninya sebagai makelar gabah di desanya menuntutnya untuk berhutang demi menutupi pembayaran gabah yang dijual kepadanya. Dia harus mengangkut gabah yang dijual kepadanya, satu-persatu karung gabah diangkutnya ke gudang dengan motor Suzuki yang sudah tua. Karung demi karung diangkatnya ke atas timbangan untuk ditimbang. Kemudian ditatanya dengan rapi tumpukan gabah itu didalam gudang menunggu giliran untuk dijemur dan menunggu waktu yang tepat untuk dijual agar mendapatkan keuntungan yang sepadan. Akan tetapi, tak jarang juga ia mengalami kerugian jika sewaktu-waktu harga gabah atau kedelai turun.
Baginya, tak gampang menjadi seorang petani. Ia harus mampu memutar otak agar hasil panen bisa mencukupi semua kebutuhan hidup. Meskipun hasil panen jika dihitung kelihat banyak, tetapi sebenarnya keuntungan yang didapatkannya tak sebanding dengan modal yang digunakan untuk menanami kembali sawahnya dan perawatannya.
Arti Penting Pendidikan
Meskipun ia hanya seorang petani, tetapi dia begitu mengerti akan pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Ia paham bahwa perkembangan dunia tidak dapat dipungkiri akan bertambah maju. Jika anak-anaknya tidak mengenyam pendidikan, maka akan jauh tertinggal dibelakang. Ini semua dilakukannya lantaran memang sudah kewajibannya sebagai orang tua untuk menyekolahkan anaknya.
Kalau orang di desanya memilih untuk mencukupkan pendidikan anaknya sampai bangku sekolah menengah keatas, tidak dengan Cak Kat, sapaan akrabnya. Cak Kat begitu miris melihat realitas apa yang terjadi didesanya. Padahal menurutnya kalau dilihat dari sisi ekonomi, mereka lebih mampu bahkan berlebih jika mau menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan tinggi.
Sedikit bercerita tentang keadaan kampungnya, cak kat mengatakan bahwa dari ratusan anak muda di desa, bisa diitung dengan jari yang mau meneruskan pendidikannya dan tau arti pentingnya pendidikan. Sebagian dari orang tua masih belum mengerti akan pentingnya menuntut ilmu, begitu juga dengan anak-anaknya. Yang terlintas dipikiran masyarakat hanya bagaimana mendapatkan kerja bermodalkan ijazah SMA.
Bahkan masyarakat sudah pesimis terlebih dahulu tidak akan mampu menyelesaikan administrasi pembayaran selama sekolah. “Padahal, kalau mereka niat dan mau pasti akan dipermudah jalannya oleh Allah, rezeki itu sudah ada yang mengatur, apalagi buat pendidikan ada saja rezeki yang datang ketika tiba waktu pembayaran” ujarnya dengan yakin.
Cak Kat begitu bersyukur anak-anaknya mengerti akan pentingnya pendidikan. Ia hanya perlu mendukung dan mendoakan. Sosok yang begitu ramah ini tak ingin apa yang ia alami dialami pula oleh anaknya. Ia berusaha sekuat tenaga bahkan rela mengorbankan apapun demi anaknya. Satu hal yang dipikirkannya hanyalah bagaimana mencari rezeki yang barokah untuk membiayai anak-anaknya sekolah. Tak peduli bagaimana keadaan tembok rumah yang mulai mengelupas, tak peduli atap rumah yang mulai bocor dan tak peduli betapa tuanya motor yang menemani aktivitasnya sehari-hari. Baginya kalau semua masih bisa digunakan, ia tidak akan mengganti dengan yang baru.
Menurutnya, menuntut ilmu sampai setinggi-tingginya itu penting. Orang yang berilmu dan dapat bermanfaat bagi masyarakat akan mempunyai derajat tersendiri. Tak mau kalah dengan anak-anaknya, ia juga menuntut ilmu dengan caranya sendiri. Suami dari Nasi’ah ini secara rutin membaca tafsiran ayat demi ayat yang terdapat di Al Quran untuk mendamaiakan hati dan pikirannya. Dengan begitu, berarti ia sudah menambahkan sedikit ilmu ke memory yang dipunyainya untuk diamalkan suatu saat nanti ketika dibutuhkan.
Pandangannya Tentang Jurnalis
Kadun sebagai sosok ayah sekaligus kepala keluarga tak memaksakan anaknya untuk mengikuti kehendaknya dalam menentukan masa depan. Ia percayakah semua masa depan kepada anaknya masing-masing. Karena menurutnya, yang akan menjalani kehidupan itu anaknya bukan dirinya, ia hanya perlu mengarahkan serta mendoakan apa yang dilakukan anaknya untuk meraih masa depan yang diinginkan.
Termasuk pilihan yang dijalankan putri kedua-nya yang memilih untuk menggeluti dunia jurnalistik. Sebenarnya cak kat kurang setuju dengan pilihan anaknya, akan tetapi ia sadar bahwa bidang itu yang diminati putri semata wayangnya. Baginya menjadi seorang jurnalis itu cukup berat, seorang jurnalis harus lari kesana kemari mengejar narasumber untuk mendapatkan informasi. Seorang jurnalis harus dituntut untuk hidup dibawah tekanan garis kematian. Seorang jurnalis tentu bakal menghabiskan waktunya untuk terjun di lapangan dengan resiko kematian yang mengancam kapanpun, apalagi kalau misalkan nantinya akan ditugaskan di daerah konflik.
“Sebenarnya saya lebih setuju kelak anak saya menjadi seorang guru lantaran ia seorang perempuan,” ucap pria ramah ini. Namun, ia sadar tak mungkin ia memaksakan kehendaknya. Ia begitu menyayangi putra-putrinya dengan caranya sendiri. Sosok ayah satu ini membiarkan anaknya untuk menempuh jalan kesuksesannya masing-masing. Entah apa yang bakal dilakukan anaknya, asalkan itu pekerjaan yang halal dengan sepenuh hati orang tua akan mendukung dan senantiasa mendoakan.”Kita tak akan tau apa yang akan terjadi dimasa depan, yang terpenting sekarang kita berusaha dan berdoa. Semua sudah ada yang menentukan,” lontar cak Kad dengan yakin dan mantap.
Mengakhiri ceritanya, sebagai orang tua ia berharap dimanapun putra – putrinya berada, kelak anak-anaknya mampu mengamalkan ilmu yang diperolehnya saat ini untuk turut memajukan bangsa dan Negara. Ia berharap kelak anaknya akan bermanfaat bagi masyarakat. Sebab ia percaya bahwa sebaik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya.

Pembangunan Manusia

Memprihatinkan! Merosotnya Indeks Pembangunan Manusia Indonesia menjadi ke-111 dari 182 negara tahun ini selayaknya membuat kita introspeksi.
Peringkat itu, sebelumnya posisi ke-108 (dari 177 negara), menempatkan Indonesia jauh di bawah negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina. Apa yang salah dengan Indonesia? Mengapa dari tahun ke tahun peringkat kita bergeming, kalau tidak memburuk, selalu tertinggal dari negara-negara tetangga? Angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 0,734 juga salah satu terendah di Asia.
IPM adalah cermin kualitas pembangunan dan ketertinggalan kita dalam membangun sumber daya manusia dan peningkatkan kesejahteraan, yang menjadi tanggung jawab negara. Karena itu, IPM sekaligus juga salah satu indikator terpenting baik buruknya kinerja suatu pemerintahan atau bangsa ini dalam memperbaiki kesejahteraan warganya, khususnya yang terkait dengan tingkat ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.
Memprihatinkannya kualitas pembangunan manusia kita antara lain tecermin dari tenaga kerja yang tak siap pakai serta masih tingginya tingkat kemiskinan absolut dan pengangguran terdidik. Sekitar 60 persen angkatan kerja hanya
lulusan sekolah dasar ke bawah. Pelayanan kesehatan sama saja. Tingginya angka gizi buruk dan meningkatnya angka kematian ibu hanya salah satu contoh.
Masih terpuruknya kualitas manusia setelah 64 tahun merdeka menunjukkan belum adanya perhatian dan komitmen serius untuk menempatkan manusia Indonesia sebagai sentral dan tujuan dari pembangunan ekonomi itu sendiri, dan bukan semata sebagai obyek.
Kebijakan pada masa lalu yang lebih mengedepankan tingkat pertumbuhan ekonomi ketimbang kualitas pembangunan itu sendiri rasanya sudah menjadi resep usang, karena terbukti membuat kita tertinggal dalam segala bidang dari negara-negara lain.
Karena itu, langkah pemerintah sekarang ini untuk mengoreksi melalui kebijakan berorientasi pro-growth, pro-job, dan pro-poor menjadi satu langkah maju dalam orientasi pembangunan yang harus didukung semua pihak. Sayangnya, implementasinya masih jauh dari harapan.
Jika pada masa lalu anggaran menjadi kendala, kini menjadi pertanyaan, mengapa dengan semakin besarnya anggaran, IPM kita masih juga terpuruk. Peringkat IPM ini menunjukkan apa yang sudah ditempuh di bidang pembangunan manusia selama ini masih jauh dari memadai. Jangankan untuk mengatasi ketertinggalan, memenuhi kebutuhan dasar pun kita masih tertatih-tatih.
Kita mengingatkan kembali, karena ke depan tuntutan kualitas sumber daya manusia akan semakin tinggi dengan kian ketatnya persaingan dan kian pentingnya peran Indonesia dalam percaturan global. Belum terlambat untuk mengatasi ketertinggalan ini jika kita mau serius.