Jumat, 06 Juli 2012

KEDUDUKAN AKHLAK DALAM ISLAM (HUBUNGANNYA DENGAN IMAN, ISLAM DAN IHSAN)


I.     PENDAHULUAN
Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati tempat yang penting, sebagai individu maupun masyarakat dan bangsa, sebab jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung kepada bagaimana akhlaknya. Apabila akhlaknya baik, maka sejahteralah lahir dan batinnya. Sebaliknya, apabila akhlaknya rusak, maka rusaklah lahir dan batinnya. Kejayaaan seseorang terletak pada akhlaknya yang baik, akhlak yang baik selalu membuat seseorang menjadi aman, tenang dan tidak adanya perbuatan yang tercela.
Agama merupakan tujuan yang lurus (shirathal mustaqim) menuju tempat kebahagiaan, menuju tujuan manusia di dunia dan di akhirat. Iman, Islam dan Ihsan merupakan tiga unsur yang berjalin, berakhlak mulia sebagai isi ajaran Rasulullah, menjalani agama (ibadah dan amal shaleh) dengan cara yang ihsan merupakan kewajiban.[1]
Untuk itu, dalam pembahasan berikut ini akan dibahas mengenai pengertian Iman, Islam dan Ihsan serta hubungan antara akhlak dengan Iman, Islam dan Ihsan.  
 
II.  RUMUSAN MASALAH
A.     Apakah Pengertian Iman, Islam, dan Ihsan?
B.     Bagaimanakah Hubungan antara Akhlak dengan Iman, Islam dan Ihsan ?

III.   PEMBAHASAN
A.  Pengertian Iman, Islam, dan Ihsan
Menurut sebuah hadits yang diriwayatkan  oleh Muslim dari Abdullah bin Umar diceritakan bahwa pernah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW, yang kemudian ternyata orang itu adalah malaikat Jibril, menanyakan tentang arti Iman, Islam dan Ihsan. Dan dalam dialog antara Rasulullah SAW dengan malaikat Jibril itu, Rasulullah SAW memberikan pengertian tentang Iman, Islam dan Ihsan tersebut sebagai berikut:
اَلْآيْمَانُ : اَنْ تُؤْمِنَ بِااللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَ كُتُبِهِ وَ رُسُوْلِهِ وَالْيَوْمِ الْاَخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِخَيْرِهِ وَشَرِّهِ
اَلْاِسْلَامُ : اَنْ تَشْهَدَ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًارَسُوْلُ اللهِ وَ تُقِيْمَ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِى الزَّكَاةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ تَخُجَّ الْبَيْتَ اِنِ ا سْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلًا
اَلْاِحْسَانُ  : اَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَاَنَّكَ تَرَاهُ فَاِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَاِنَّهُ يَرَاكَ
Iman : Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan Hari Akhirat seerta engkau beriman kepada kadar (ketentuan Tuhan) baik dan buruk.
Islam : Engkau menyaksikan bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, engkau  mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, p uasa Ramadhan dan engkau pergi haji ke Baitullah jika engkau mampu pergi kesana.
Ihsan : Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, tetapi jika engkau tidak meluhat-Nya yakinlah bahwa Dia selalu melihat engkau.[2]
Jika dilihat lebih jauh tentang pengertian Iman, Islam dan Ihsan baik dilihat dari sudut etimologi maupun terminologi dapat diperoleh beberapa penjelasan sebagai berikut:
a.    Iman
Kata Iman (bahasa arab) adalah bentuk masdardari kata kerja (fi’il)
اَمَنَ , يُؤْمِنُ , اِيْمَاناً
Dalam bahasa Indonesia kata Iman biasanya diartikan dengan kepercayaan atau keyakinan.
Dilihat dari pengertian istilah, Iman itu paling tidak mengharuskan adanya pembenaran keyakinan akan adanya Tuhan dengan segala keesaan-Nya dan segala sifat kesempurnaan-Nya serta pembenaran dan keyakinan terhadap Muhammad Rasulullah dan risalah kerasulan yang ia bawa.[3]
b.    Islam
Dilihat dari asal katanya, Islam (bahasa arab) adalah bentuk masdar dari kata kerja (fi’il) :
اَسْلَمَ ، يُسْلِمُ ، اِسْلاَ مًا
Di dalam Da’irah al-Ma’arif al-Islamiyah dikatakan :
اَلْاِسْلَامُ ، اَلْخُضُوْعُ وَالْاِسْتِسْلَامُ
“Islam berarti tunduk dan menyerah/penyerahan diri”.
Dilihat dari istilah Islam ialah tunduk dan taat, yakni tunduk dan taat  kepada perintah Allah dan kepada larangan-Nya. Perintah dan larangan itu tertuang dalam ajaran Islam, oleh karena itu hanya mereka yang tunduk dan taat kepada ajaran Islam yang akan mendapat keselamatan dan kedamaian hidup di dunia dan akhirat.
Sebagai agama, Islam merupakan kepasrahan dan penyerahan diri secara total kepada Allah SWT. Ajaran agama Islam memerintahkan taat kepada perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
c.    Ihsan
Kata Ihsan (bahasa arab) berasal dari kata kerja (fi’il)
 اَحْسَنَ ، يُحْسِنُ ، اِحْسَانًا artinya فِعْلُ اَلْحَسَنِ (perbuatan baik).
K.H. Moenawar Chalil  mengatakan, Ihsan  ialah “berbuat baik atau perbuatan baik”. Asfahani, sebagaimana dikutip oleh Moenawar Chalil, mengatakan bahwa Ihsan  itu dapat diartikan dalam dua arti, yaitu:
1.    Memberi kenikmatan (kebaikan) kepada orang lain.
2.    Mengetahui dengan baik akan sesuatu pengetahuan dan mengerjakan dengan baik akan sesuatu pekerjaan.
Jadi Ihsan  dapat dikatakan sebagai puncak kesempurnaan dari Iman dan Islam. Orang yang telah sempurna keimanan dan keislamannya akan mencapai suatu keadaan dimana ia dapat melakukan ibadah kepada Allah seakan-akan melihat Allahdan bila tidak dapat demikian, ia akan selalu diawasi oleh Allah. Ihsan dapat menimbulkan amal saleh dan menjauhkan orang dari perbuatan-perbuatan buruk. Imam al-Nawawi menegaskan bahwa ihsan itu merupakan jawami’ul kalim, yaitu suatu ungkapan yang mencakup tujuan dari hakikat Iman dan Islam.

B.     Hubungan Akhlak dengan Iman, Islam dan Ihsan
1.      Hubungan Akhlak dengan Iman
Iman ialah mengetahui dan meyakini akan keesaan Tuhan, mempercayai adanya malaikat, mengimani adanya kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah, iman kepada para Rasul, iman kepada hari akhir dan iman kepada qada dan qadar. Untuk rukun iman yang pertama bahwa mengetahui dan meyakini akan keesaan Allah dengan mempercayai bahwa Allah memiliki sifat-sifat ynag mulia. Untuk itu manusia hendaknya meniru sifat-sifat Tuhan itu, yakni Allah SWT. Misalnya bersifat Al-Rahman dan Al-Rahim (Maha pengasih dan Maha Penyayang), maka sebaiknya manusia meniru sifat tersebut dengan mengembangkan sikap kasih sayang di muka bumi. Demikian juga jika Allah bersifat dengan Asma’ul Husna itu harus dipraktekkan dalam kehidupan. Dengan cara demikian iman kepada Allah akan memberi pengaruh terhadap pembentukan akhlak yang mulia.[4]
Demikian juga jika seseorang beriman kepada para malaikat, maka yang dimaksudkan antara lain adalah agar manusia meniru sift-sifat yang terdapat pada malaikat, seperti sifat jujur, amanah, tidak pernah durhaka dan patuh melaksanakan segala yang diperintahkan Tuhan. Hal ini juga dimaksudkan agar manusia merasa diperhatikan dan diawasi oleh para malaikat, sehingga ia tidak berani melanggar larangan Tuhan.
Demikian pula beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan Tuhan , khususnya Al-Qur’an, maka dengan mengikuti segala perintah yang ada dalam Al-Qur’an dan menjauhi apa yang dilarangnya. Dengan kata lain beriman kepada kitab-kitab, khususnya Al-Qur’an harus disertai dengan berakhlak dengan akhlak Al-Qur’an seperti halnya dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya beriman kepada para rasul, khususnya kepada Nabi Muhammad SAW. juga harus disertai upaya mencontoh akhlak Rasulullah di dalam Al-Qur’an dinyatakan oleh Allah bahwa nabi Muhammad SAW itu berakhlak mulia.
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ (٤)
Artinya: “seseungguhnya engkau Muhammad benar-benar berbudi pekerti mulia.” (Q. S. Al-Qalam: 4)

Demikian pula beriman kepada hari akhir, dari sisi akhlaki harus disertai dengan upaya menyadari bahwa segala amal perbuatan yang dilkaukan selama di dunia ini akan dimintakan pertanggung jawabannya di akhirat nanti. Amal perbuatan manusia selama di dunia akan ditimbang dan dihitungb serta diputuskan dengan seadilnya. Mereka yang amalnya lebih banyak yang buruk dan ingkar kepada Tuhan akan dimasukkan ke dalam neraka, sedangkan mereka yang amalnya lebih banyak yang biak akan dimasukkan ke dalam syurga. Hal tersebut diharapkan dapat memotivasi seseorang agar selama hidupnya di dunia ini banyak melakukan amal yang baik, menjauhi perbuatan dosa dan ingkar kepada Allah.
Selanjtnya beriman kepada qada dan qadar juga erat kaitannya dengan akhlak, yaitu agar orang yang percaya kepada qada dan qadar itu seanantiasa mau bersyukur terhadap keputusan Tuhan dan rela menerima segala keputusan-Nya. Perbuatan demikian termasuk ke dalam akhlak yang mulia.[5]
             
2.      Hubungan Akhlak dengan Islam
Dalam keseluruhan ajaran Islam akhlak menempati kedudukan yang sangat penting. Hal itu dapat dilihat dalam beberapa hal berikut: 
a.     Nabi Muhammad SAW diutus menjadi Rasul dengan maksud utama untuk membina dan  menyempurnakan akhlak, sebagaimana dinyatakan dalam hadits,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلَاقِ (رواه أحمد)
Artinya: “bahwasanya aku diutus oleh Allah untuk menyempurnakan keluhuran akhlak (Budi pekerti)” (HR. Ahmad)
Tugas nabi yang digariskan dalam sejarah hidupnya cukup menarik simpati manusia untuk mengikuti dan melaksanakan ajaran-ajaran risalahnya. Karena Risalah yang diajarkan nabi Muhammad memberikan informasi tentang faktor-faktor keutamaan akhlak, lengkap dengan penjelasan aspek-aspeknya.[6]
b.      Akhlak merupakan salah satu ajaran pokok agama Islam, sehingga Rasulullah pernah mendefinisikan agama itu dengan akhlak yang baik. Pendefinisian agama Islam dengan akhlak yang baik itu sebanding dengan pendefinisian ibadah haji dengan wuquf di Arafah. Rasulullah saw pernah menyebutkan,“Haji adalah Wukuf di Arafah.” Artinya tidak sah haji seseorang tanpa wukuf di Arafah.
c.       Akhlak yang baik akan memberatkan timbangan kebaikan seseorang nanti pada hari kiamat. Rasulullah saw bersabda:

مَامِنْ شَىْئٍ أَثْقَلُ فِى مِيْزَانِ الْعَبْدِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ ...
(رواه الترمذى)

Artinya: ”Tidak ada satupun yang akan lebih memberatkan timbangan (kebaikan) seorang hamba mukmin nanti pada hari kiamat selain dari akhlak yang baik.”

d.      Rasulullah menjadikan baik buruknya akhlak seseorang sebagai ukuran kualitas imannya.
e.       Islam menjadikan akhlak yang baik sebagai bukti dan buah dari ibadah kepada Allah SWT. Misalnya: shalat, puasa, zakat dan haji.
1)        Allah memerintahkan solat wajib, sekaligus Allah menerangkan Hikmahnya.
Firman Allah :        
وَاَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةِ  تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنْكَرِ (العنكبوت: ٤٥)
Artinya : “...dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar,”
Membersihkan jiwa dari perbuatan keji yang membawa kehinaan dan mensucikan diri dari perkataan buruk adalah hakikat shalat.
2)        Mengenai ibadah zakat pada hakikatnya bukan merupakan pajak yang diambil dari kantong, tetapi merupakan pembinaan, menanamkan rasa kasih sayang yang tulus dan mendekatkan hubungan ukhuwwah yang baik di antara lapisan masyarakat. Di samping itu ia juga membantu menghilangkan sikap dengki dan permusuhan dari dada kalangan fakir miskin terhadap saudara-saudara mereka yang berpunya. Hal ini lebih berlanjut berimplikasi pada minimnya kasus tindak pencurian dan berbagai jenis tindak kriminal lain ynag meresahkan masyarakat.[7]
3)        Begitu juga Islam mengajarkan ibadah puasa, bukan hanya sekedar menahan diri dari makanan dan minuman dalam waktu yang terbatas, tetapi lebih dari itu merupakan latihan menahan diri dari keinginan melakukan perbuatan keji yang dilarang. Kita yakin bahwai badah puasa pasti mengandung manfaat bagi manusia, kita juga menyadari bahwa manfaat puasa akan dapat dilihat dari segi kesehatan maupun dalam pembentukan sikap kepribadian. Tegasnya dari segi manapun ibadah puasa mampu memberikan kemanfaatan yang nyata.
4)        Menunaikan ibadah haji ke tanah suci yang diperintahkan kepada orang-orang yang mampu merupakan pelengkap ibadah dari rukun Islam kelima. Kewajiban ini wajib ditunaikan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan hati, sebagai perwujudan iman dan taqwanya kepada Allah dan Rasul-Nya.[8]
Demikianlah garis besar ketentuan-ketentuan ibadah dalam Islam yang dituangkan dalam rukun Islam yang erat hubungannya dengan pembinaan akhlak.[9]
f.        Nabi Muhammad SAW selalu berdo’a agar Allah SWT membaikkan akhlak beliau.
g.       Di dalam Al-qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang berhubungan dengan akhlak.[10]
3.      Hubungan Akhlak dengan Ihsan
Ihsan dalam arti akhlak mulia atau pendidikan akhlak mulia sebagai puncak keagamaan dapat dipahami dari beberapa hadits terkenal seperti “sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak dan budi pekerti baik”.
      Ihsan secara lahiriyah melaksanakan amal kebaikan. Ihsan dalam bentuk lahiriyah ini, jika dilandasi dan dijiwai dalam bentuk rohaniyah (batin) akan menumbuhkan keikhlasan. Beramal Ihsan yang ikhlas membuahkan taqwa yang merupakan buah tertinggi dari segala amal ibadah kita. Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang akan mencapai tingkat Ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi harapan Rasul dalam salah satu haditsnya. Pada akhirnya ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga mereka yang sampai pada tahap ihsan maka ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan karakternya.[11]
      Adapun landasan Syar’i ihsan yaitu:
وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (١٩٥)
Dan berbuat baiklah kalian karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-Baqarah: 195)

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk berbuat adil dan kebaikan....”. (QS. An-Nahl :90)

IV. KESIMPULAN
Iman, Islam dan Ihsan  merupakan tiga serangkai yang tidak boleh terpisah dalam kerangka agama Islam sesuai dengan bunyi  tentang pengertian Iman, Islam dan Ihsan. Maksudnya kesempurnaan agama (Islam) terletak pada tiga sendi, yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Seorang Islam dapat dikatakan sebagai muslim yang hakiki bila ia dapat mengumpulkan dalam dirinya ketiga sendi tersebut.
Dengan demikian, untuk melihat kuat atau lemahnya Iman  dapat diketahui melalui tingkah laku (akhlak) seseorang, karena tingkah laku tersebut merupakan perwujudan dari Imannya yang ada di dalam hati. Jika perbuatannya baik, pertanda ia mempunyai Iman yang kuat, dan jika perbuatannya buruk maka dapat dikatakan ia mempunyai Iman yang lemah. Islam menjadikan akhlak yang baik sebagai bukti dan buah dari ibadah kepada Allah SWT. Misalnya: shalat, puasa, zakat dan haji.


[1]M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, ( Jakarta: Amzah, 2007), hlm.  1-2.
[2] Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 67-68.
[3] Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, hlm. 68-71.
[4] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. 22
[5] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, hlm. 26
[6] Muhammad Al-Ghazali, Akhlak Seorang Muslim, penerj. Muhammad Rifa’i, (Semarang: Wicaksana, 1993), hlm. 10
[7] Dr. Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, penerj. Kamran As’at Irsyadi dan Ghazali, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 246
[8] Muhammad Al-Ghazali, Akhlak Seorang Muslim,hlm. 11-15
[9] H. Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: LPPI, 2007), hlm. 11

Kamis, 05 Juli 2012

FILSAFAT AL GHAZALI


       I.            PENDAHULUAN
Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, tidak saja karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan.
Dalam makalah ini, penulis hanya membatasi pemaparan mengenai Al-Ghazali, seorang ulama besar yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap Islam dan filsafat Dunia Timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang teolog yang mendapat julukan Hujjah al- Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan banyak,  mulai dari pikiran beliau dalam bidang teologi (kalam), tasawuf, dan filsafat. Dalam Hal ini akan dibahas tentang filsafat Al-Ghazali yang berkaitan dengan biografi, hasil karya, pemikirannya dan kritik terhadap filosof Muslim lainnya.

    II.            RUMUSAN MASALAH
A.     Bagaimana Biografi dan Apa Saja Karya Al-Ghazali?
B.     Bagaimana Pemikiran Filsafat Al-Ghazali?
C.     Bagaimana Pandangan Al-Ghazali terhadap Filsafat?

 III.       PEMBAHASAN
A.     Biografi dan Karya Al Ghazali
1.      Biografi Al Ghazali
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-ghazali. Namanya kadang diucapkan Ghazzali (dua Z), artinya tukang pintal benang, Karena pekerjaan ayah al-Ghazali ialah tukang pintal benang wol. Sedangkan yang lazim ialah Ghazali (satu Z), diambil dari kata Ghazalah nama kampung kelahirannya.[1]
Al-Ghazali lahir pada tahun 450 H/1058 M, di desa Thus, wilayah Khurasan, Iran. Dia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “Pembela Islam” (hujjatul Islam).
Di masa mudanya ia belajar di Nisyapur, juga di Khurasan, yang pada waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid Imam al-Haramain al-Juwaini, Guru Besar di Madrasah al-Nizamiah, Nisyapur. Diantara mata pelajaran-mata pelajaran yang diberikan di madrasah ini ialah: Teologi, Hukum Islam, Falsafat, Logika, Sufisme, dan Ilmu-ilmu Alam.[2]
Pada tahun 1091 M/ 484 H, al-Ghazali diangkat menjadi ustadz (dosen) pada Universitas Nizamiah, Baghdad. Atas prestasinya yang kian meningkat, pada usia 34 tahun al-Ghazali diangkat menjadi pimpinan (rektor) universitas tersebut.[3]
Hanya 4 tahun al-Ghazali menjadi rektor di Universitas Nizamiah. Setelah itu ia mulai mengalami krisis rohani, krisis keraguan yang meliputi akidah dan semua jenis ma’rifat. Kemudian ia meninggalkan semua jabatan dan dunianya untuk berkhalwat, ibadah dan i’tikaf selama hampir dua tahun di sebuah masjid di Damaskus yang dilanjutkan ke Baitul Maqdis, menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Rasulullah saw. serta nabi Ibrahim as. Akhirnya, ia terlepas dari krisis tersebut dengan jalan tasawuf.
Setelah melanglang buana kurang lebih 10 tahun, atas desakan Fakhrul Muluk. Al-Ghazali kembali untuk mengajar di Universitas Nizamiah lagi.
Dalam usia 55 tahun al-Ghazali meninggal dunia di Thus pada 14 Jumadil akhir 550 H, 19 Desember 1111 M dengan dihadapi oleh saudara laki-lakinya Abu ahmad Mujjidduddin. Jenazahnya dimakamkan di sebelah timur benteng di makam Thaberran bersisian dengan makam penyair besar Firdausi.[4]
2.      Karya-karya Al-Ghazali
Menurut Musthafa Galab, Al-Ghazali telah meninggalkan tulisannya berupa buku dan karyanya sebanyak 228 kitab yang terdiri dari berbagai macam ilmu pengetahuan yang terkenal pada masanya. Kitab-kitab tersebut diantaranya:
1.    Di Bidang Filsafat
a.  Maqashid al-Falasifat (The tendencies of the Philosophers: Tujuan Ilmu Filsafat). Berisi mengenai ringkasan ilmu-ilmu filsafat, dijelaskan juga ilmu-ilmu mantiq, metafisika dan ilmu alam.
b.  Tahafut al-falasifat (The distruction of the Philosophers: Kerancuan pemikiran para filosof). Berisi pertentangan (kontradiksi) yang ada dalam ajaran filsafat , serta dijelaskannya juga ketidaksesuaiannya dengan akal.
c.  Al-Ma’riful ‘Aqliyah (Ilmu Pengetahuan yang Rasional). Kitab ini mengungkap asal muasal ilmu-ilmu yang rasional dan kemdian hakikat apa yang dihasilkan serta ke arah mana tujuan pastinya.
2.    Di bidang Agama
a.    Ihya’ Ulumuddin (Revival of the Relegios Sceinces: Menghidup-hidupkan Ilmu Agama).
b.    Al-munqiz min al-Dhalal ( Terlepas dari kesesatan).
c.    Minhaj ul’Abidin (the Path of the Devout: Jalan Mengabdi Tuhan).
3.    Di bidang akhlak tasawuf
a.    Miezan ul ‘Amal (neraca amal).
b.    Kitab pendamping Ihya’ yang juga berisi akhlak dan tasawuf.
c.    Keimiya us Da’adah (kimianya kebahagiaan). Berisi masalah etika yang dibicarakan dari sudut pandang kepraktisannya dan hukum.
d.    Kitab ul Arba’ien (empat puluh prinsip agama). Berisi tentang soal-soal yang berhubungan dengan akhlak tasawuf.
e.    At-Tibrul Masbuk fi nashiehat el muluk(emas yang sudah ditatah untuk menasehati para penguasa). Berisi tata karma yang berhubungan dengan pemerintahan.
f.      Al-Mustashfa fil ushul (keterangan yang sudaah dipilih mengenai soal pokok-pokok ilmu hukum).
g.    Mishkat ul Anwar (lampu yang bersinar banyak). Berisi tentang kaitan akhlak dengan ilmu aqidah dan teologi.
h.    Ayyuhal Walad (wahai anakku !). Berisi nasehat kepada penguasa yang berhubungan dengan amal perbuatan dan tingkah polah mereka dalam kehidupan sehari-hari.
i.      Al-adab fi Dien(adab sopan keagamaan). Berisi perilaku manusia di dalam hubungannya dengan etika hidup manusia.
j.      Ar-Risalah al-Laduniyah (risalah tentang soal-soal batin). Berisi hubungan akhlak dengan masalah-masalah kerohanian termasuk didalamnya soal wahyu, kata hati dan sebagainya.
4.    Di bidang kenegaraan
a.    Mustazh hiri.
b.    Sir ul Alamain (rahasia dua dunia yang berbeda).
c.    Suluk us Sulthanah (cara menjalankan pemerintahan). Buku ini memberi tahu  pimpinan bagaimana seorang kepala Negara harus menjalankan pemerintahannya demi kesejahteraan rakyatnya.
d.    Nashihat et Muluk (nasehat untuk kepala-kepala negara).[5]
5.    Di bidang Fiqh dan Ushul Fiqh
a.    Asrar al-Hajj, dalam Fiqh al-Syafi’I, terbit di Mesir.
b.    Al-Mustasfa fi Ilmi al-Ushul, terbit berulang kali di Kairo.
c.    Al-Wajiz fi al-Furu’.[6]
B.     Pemikiran Fisafat Al-Ghazali
1.      Metafisika
Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.
Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.
Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para filosof dinyatakan kafir. Hal ini akan lebih dijelaskan dalam bagian selanjutnya.
2.      Iradat Tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.
Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.[7]
Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.[8]
3.      Etika
Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.
Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari syari’at, hal ini nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab Ihya’nya yang merupakan perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti kewajiban agama haruslah dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah dengan penuh rasa yakin dan pengertian tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya.[9]   
C.     Pandangan Al-Ghazali terhadap Filsafat
Di bidang filsafat al-Ghazali memiliki perhatian yang sangat besar dan ia tercatat sebagai pemikir yang banyak melibatkan diri pada segi itu. Ia belajar filsafat kepada al-Juwaini selama tiga tahun. Sehingga al-Ghazali dianggap juga sebagai salah seorang filosof muslim.[10] Namun, dalam lapangan filsafat ketuhanan (metafisika) al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahl al-bid’at dan kafir seperti apa yang ada dalam bukunya Tahafut al-Falasifat (kerancuan pemikiran para filosof). Al-Ghazali menyalahkan filosof-filosof dalam pendapat-pendapat berikut:
1.      Tuhan tidak mempunyai sifat.
2.      Tuhan mempunyai substansi basit (بسيط sederhana, simple) dan tidak mempunyai mahiah ( ماهية  hakekat, quiddity).
3.      Tuhan tidak mengetahui juz’iat (جزئيات perincian, particulars).
4.      Tuhan tidak dapat diberi sifat al-jins, (الجنسjenis, genus) dan al-fasl (الفصل          differentia).
5.      Planet-planet adalah binatang yang bergerak dengan kemauan.
6.      Jiwa planet-planet mengetahui semua juz’iat.
7.      Hukum alam tak dapat berubah.
8.      Pembangkitan jasmani tidak ada.
9.      Alam ini tidak bemula.
10.  Alam ini kekal.[11]
Tiga dari kesepuluh pendapat diatas, menurut Al-Ghazali membawa kepada kekufuran yaitu:
1.      Alam kekal dalam arti tidak bermula.
2.      Tuhan tidak mengetahui perincian dari apa-apa yang terjadi di alam.
3.      Pembangkitan jasmani tidak ada.
Yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1.      Alam kekal (Qadimnya Alam)
Filosof-filosof mengatakan bahwa alam ini qadim berdasarkan tiga argumen yaitu (1) Mustahil timbulnya yang baharu dari yang qadim. Proposi ini berlaku bagi sebab akibat, dengan arti, jika Allah qadim, maka terjadinya alam merupakan suatu keniscayaan dan hal ini akan menjadi qadim kedua-duanya (Allah dan alam). (2) Keterdahuluan wujud Allah dari alam hanya dari segi esensi (taqaddum zaty), sedangkan dari segi zaman (taqaddum zamany) antara keduanya adalah sama, seperti keterdahuluan bilangan satu dengan dua. (3) Alam sebelum wujudnya merupakan suatu yang mungkin. Kemungkinan ini tidak ada awalnya, dengan arti selalu abadi.[12] Sedangkan menurut Al-Ghazali yang qadim hanyalah Allah dan yang selain Allah adalah hadis (baharu). Allah dapat berbuat apapun tanpa ada yang menghalangi-Nya karena Allah menciptakan alam sesuai dengan kekuasaan dan kehendak-Nya.
2.      Tuhan tidak mengetahui perincian dari apa-apa yang terjadi di alam.
Para filosof Muslim, menurut Al-Ghazali berpendapat bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya dan tidak mengetahui yang selain-Nya (juz’iat) dengan alasan alam ini selalu terjadi perubahan-perubahan, jika Allah mengetahui rincian perubahan tersebut, hal itu akan membawa perubahan pada zat-Nya. Perubahan pada objek ilmu akan membawa perubahan pada yang punya ilmu (bertambah atau berkurang). Ini mustahil terjadi pada Allah.
Pendapat para filosof itu merupakan kesalahan fatal. Menurut Al-Ghazali lebih lanjut, perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu adalah suatu tambahan, atau pertalian dengan zat, artinya lain daripada zat. Sehingga jika terjadi perubahan pada tambahan tersebut, maka zat Tuhan tetap dalam keadaannya yang biasa, sebagaimana halnya kalau ada orang berdiri di sebelah kanan kita, kemudian ia berpindah ke sebelah kiri kita, maka yang berubah sebenarnya dia, bukan kita.[13] 
3.      Pembangkitan jasmani tidak ada.
Menurut para filosof Muslim, yang akan dibangkitkan di akhirat nanti adalah rohani saja, sedangkan jasmani akan hancur. Jadi yang akan merasakan kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani saja.
Al-Ghazali dalam menyanggah pendapat para filosof tersebut lebih banyak bersandar pada arti tekstual Al-Qur’an, yang menurutnya tidak ada alasan untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan fisik dan rohani secara bersamaan. Allah Mahakuasa menciptakan segala sesuatu dan untuk itu tidaklah ada keraguan sedikitpun Allah akan mengembalikan rohani pada jasmani  di akhirat nanti.
Sebenarnya dalam ajaran agama Islam informasi kebangkitan akhirat ada yang disebutkan dengan jasmani dan rohani dan ada pula yang disebutkan rohani saja. Para filosof Muslim lebih menerima dalam bentuk rohani saja, sebab mereka dalam memahami nash lebih cenderung pada arti metafora, dan kalau akhirat lawan dari dunia yang berbentuk materi berarti akhirat bentuk rohani saja. Jadi, arti surga bagi mereka adalah kesenangan bukan berbentuk jasmani (materi), sedangkan arti neraka (api yang bernyala), bagi mereka adalah kesengsaraan.[14]

Sebenarnya antara Al-Ghazali dengan para filosof Muslim hanya bertentangan dari segi pendekatan dan pemaknaan serta penjabaran konsep saja, bukan esensi dari segala sesuatu, artinya hakekatnya mereka mengakui apa-apa yang tersirat dalam sumber utama (wahyu) sedang pemaknaan atau cara menterjemahkannya tergantung pada manusia.
Al-Ghazali pada dasarnya tidak ingin menjatuhkan para filosof Muslim, melainkan mewaspadai jangan sampai pola fikir filosofik yang bersifat khusus berkembang secara umum, karena orang awam belum tentu dapat memahaminya.
Oleh karena itu, Al-Ghazali menurut Harun Nasution membagi tingkatan berfikir manusia menjadi tiga macam:
1.      Kaum awam, yang cara berfikirnya sederhana sekali.
2.      Kaum pilihan (الخواص  ,elect) yang akalnya tajam dan berfikir secara mendalam.
3.      Kaum menengkar (اهل الجدل).[15]
Dari klasifikasi tersebut, dapat ditarik suatu garis horizontal bahwa Al-Ghazali menempatkan para filosof pada kelompok kedua atau ketiga dengan pola berfikir mereka yang khas. Berarti pemikiran filsafat harus dikembangkan di kalangan filosof. Hal ini sejalan dengan ide para filosof muslim khususnya Al-Farabi yang menginginkan agar filsafat tidak dibocorkan terhadap golongan awam, karena tingkat berfikir mereka yang berbeda. Termasuk di dalamnya masalah metafisika dan teologi yang tidak bisa dijelaskan dengan bahasa filsafat bagi orang awam. Begitu pula sebaliknya, untuk berbicara dengan filosof maka harus dengan bahasa filsafat. Al-Ghazali sendiri menurut Syekh Sulaiman Dunya dari al-Azhar, cairo memberikan keterangan-keterangan dengan cara yang berlainan sesuai dengan situasi yang dihadapinya. Inilah salah satu alasan munculnya tahafut al-falasifat sebagai cara tersendiri dalam menghadapi para filosof dengan bahasa filsafat. Dengan demikian Al-Ghazali tidaklah berbeda dengan filosof, bahkan ia adalah filosof.


[1] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 9.
[2] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 41.
[3] Abidin Ibnu Rusn, Op. Cit.,hlm. 11.
[4] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Semarang: CV Toha Putra, 1993), hlm. 63.
[5] Ibid., hlm. 58-62
[6] M. Bahri Ghazali, Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali: Suatu TinjauanPsikologik Pedagogik, (Yogyakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991), hlm. 31.
[7] Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: CV ROSDA, 1988), hlm. 172.
[8] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 176.
[9] M. Amin Abdullah, Studi Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.280.
[10]M. Bahri Ghazali, Op. Cit., hlm.58.
[11] Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 44-45.
[12] Sirajuddin Zar, Op. Cit., hlm.164-166.
[13] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 149.
[14] Sirajuddin Zar, Op. Cit., hlm. 174.
[15]Harun Nasution, Op. Cit., hlm. 45.