Selasa, 09 Juli 2013

Kadun, Dari Petani Untuk Menjadi Calon Jurnalis

Kesadaran bahwa pendidikan begitu penting bagi anak-anaknya dan kewajiban menuntut ilmu menjadi penyemangat bagi Kadun untuk memperjuangkan keinginan anaknya menjadi calon jurnalis. Tak mengenal apa pekerjaan yang ia lakoni dan tak perduli berapa besar biaya yang dikeluarkan untuk membiayai sekolah anaknya.
Sejak tahun 2010, anaknya mulai duduk dibangku perkuliahan. Bermodalkan hasil sawah yang didapatkannya ketika musim panen lalu, ia mampu memasok kebutuhan biaya yang harus dibayarnya. Mulai dari pembayaran DPP jurusan Komunikasi yang agak mahal, semua pembayaran dikampus hingga pembayaran uang kos.
Kadun adalah seorang petani di sebuah desa yang terletak di kecamatan Pandaan, kabupaten Pasuruan. Umurnya yang sudah setengah abad tak mengahalangi niat baik anaknya untuk menuntut ilmu. Dia tak pernah bosan menjalankan rutinitas yang sudah lama ia lakoni sejak kecil. Mulai berangkat kesawah sebelum matahari terbit kemudian pulang untuk sholat dhuhur dan kembali lagi kesawah sampai sebelum matahari tenggelam.
“Begitulah rutinitas saya setiap hari, kami tak menyebutnya ke sawah melainkan ke kantor. Bukan hanya orang kota saja yang ke kantor. Petani seperti saya juga ke kantor, yakni sawah,” ucapnya dengan sedikit tawa.
Bapak beranak tiga ini tak ingin nasib anaknya berakhir seperti dirinya yang harus putus sekolah sejak Sekolah Dasar lantaran keterbatasan dana. Ia memang lahir dari keluarga miskin pasangan petani Syukur (alm) dan Warsini (alm). Semua pekerjaan ia lakoni untuk menutupi biaya hidupnya. Mulai menjadi petani, tukang panggul gabah hingga menjadi makelar gabah di desanya.
Jika petani lain akan kaya dengan hasil panennya ketika waktu panen tiba, tidak dengan petani yang satu ini. Pekerjaan yang dilakoninya sebagai makelar gabah di desanya menuntutnya untuk berhutang demi menutupi pembayaran gabah yang dijual kepadanya. Dia harus mengangkut gabah yang dijual kepadanya, satu-persatu karung gabah diangkutnya ke gudang dengan motor Suzuki yang sudah tua. Karung demi karung diangkatnya ke atas timbangan untuk ditimbang. Kemudian ditatanya dengan rapi tumpukan gabah itu didalam gudang menunggu giliran untuk dijemur dan menunggu waktu yang tepat untuk dijual agar mendapatkan keuntungan yang sepadan. Akan tetapi, tak jarang juga ia mengalami kerugian jika sewaktu-waktu harga gabah atau kedelai turun.
Baginya, tak gampang menjadi seorang petani. Ia harus mampu memutar otak agar hasil panen bisa mencukupi semua kebutuhan hidup. Meskipun hasil panen jika dihitung kelihat banyak, tetapi sebenarnya keuntungan yang didapatkannya tak sebanding dengan modal yang digunakan untuk menanami kembali sawahnya dan perawatannya.
Arti Penting Pendidikan
Meskipun ia hanya seorang petani, tetapi dia begitu mengerti akan pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Ia paham bahwa perkembangan dunia tidak dapat dipungkiri akan bertambah maju. Jika anak-anaknya tidak mengenyam pendidikan, maka akan jauh tertinggal dibelakang. Ini semua dilakukannya lantaran memang sudah kewajibannya sebagai orang tua untuk menyekolahkan anaknya.
Kalau orang di desanya memilih untuk mencukupkan pendidikan anaknya sampai bangku sekolah menengah keatas, tidak dengan Cak Kat, sapaan akrabnya. Cak Kat begitu miris melihat realitas apa yang terjadi didesanya. Padahal menurutnya kalau dilihat dari sisi ekonomi, mereka lebih mampu bahkan berlebih jika mau menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan tinggi.
Sedikit bercerita tentang keadaan kampungnya, cak kat mengatakan bahwa dari ratusan anak muda di desa, bisa diitung dengan jari yang mau meneruskan pendidikannya dan tau arti pentingnya pendidikan. Sebagian dari orang tua masih belum mengerti akan pentingnya menuntut ilmu, begitu juga dengan anak-anaknya. Yang terlintas dipikiran masyarakat hanya bagaimana mendapatkan kerja bermodalkan ijazah SMA.
Bahkan masyarakat sudah pesimis terlebih dahulu tidak akan mampu menyelesaikan administrasi pembayaran selama sekolah. “Padahal, kalau mereka niat dan mau pasti akan dipermudah jalannya oleh Allah, rezeki itu sudah ada yang mengatur, apalagi buat pendidikan ada saja rezeki yang datang ketika tiba waktu pembayaran” ujarnya dengan yakin.
Cak Kat begitu bersyukur anak-anaknya mengerti akan pentingnya pendidikan. Ia hanya perlu mendukung dan mendoakan. Sosok yang begitu ramah ini tak ingin apa yang ia alami dialami pula oleh anaknya. Ia berusaha sekuat tenaga bahkan rela mengorbankan apapun demi anaknya. Satu hal yang dipikirkannya hanyalah bagaimana mencari rezeki yang barokah untuk membiayai anak-anaknya sekolah. Tak peduli bagaimana keadaan tembok rumah yang mulai mengelupas, tak peduli atap rumah yang mulai bocor dan tak peduli betapa tuanya motor yang menemani aktivitasnya sehari-hari. Baginya kalau semua masih bisa digunakan, ia tidak akan mengganti dengan yang baru.
Menurutnya, menuntut ilmu sampai setinggi-tingginya itu penting. Orang yang berilmu dan dapat bermanfaat bagi masyarakat akan mempunyai derajat tersendiri. Tak mau kalah dengan anak-anaknya, ia juga menuntut ilmu dengan caranya sendiri. Suami dari Nasi’ah ini secara rutin membaca tafsiran ayat demi ayat yang terdapat di Al Quran untuk mendamaiakan hati dan pikirannya. Dengan begitu, berarti ia sudah menambahkan sedikit ilmu ke memory yang dipunyainya untuk diamalkan suatu saat nanti ketika dibutuhkan.
Pandangannya Tentang Jurnalis
Kadun sebagai sosok ayah sekaligus kepala keluarga tak memaksakan anaknya untuk mengikuti kehendaknya dalam menentukan masa depan. Ia percayakah semua masa depan kepada anaknya masing-masing. Karena menurutnya, yang akan menjalani kehidupan itu anaknya bukan dirinya, ia hanya perlu mengarahkan serta mendoakan apa yang dilakukan anaknya untuk meraih masa depan yang diinginkan.
Termasuk pilihan yang dijalankan putri kedua-nya yang memilih untuk menggeluti dunia jurnalistik. Sebenarnya cak kat kurang setuju dengan pilihan anaknya, akan tetapi ia sadar bahwa bidang itu yang diminati putri semata wayangnya. Baginya menjadi seorang jurnalis itu cukup berat, seorang jurnalis harus lari kesana kemari mengejar narasumber untuk mendapatkan informasi. Seorang jurnalis harus dituntut untuk hidup dibawah tekanan garis kematian. Seorang jurnalis tentu bakal menghabiskan waktunya untuk terjun di lapangan dengan resiko kematian yang mengancam kapanpun, apalagi kalau misalkan nantinya akan ditugaskan di daerah konflik.
“Sebenarnya saya lebih setuju kelak anak saya menjadi seorang guru lantaran ia seorang perempuan,” ucap pria ramah ini. Namun, ia sadar tak mungkin ia memaksakan kehendaknya. Ia begitu menyayangi putra-putrinya dengan caranya sendiri. Sosok ayah satu ini membiarkan anaknya untuk menempuh jalan kesuksesannya masing-masing. Entah apa yang bakal dilakukan anaknya, asalkan itu pekerjaan yang halal dengan sepenuh hati orang tua akan mendukung dan senantiasa mendoakan.”Kita tak akan tau apa yang akan terjadi dimasa depan, yang terpenting sekarang kita berusaha dan berdoa. Semua sudah ada yang menentukan,” lontar cak Kad dengan yakin dan mantap.
Mengakhiri ceritanya, sebagai orang tua ia berharap dimanapun putra – putrinya berada, kelak anak-anaknya mampu mengamalkan ilmu yang diperolehnya saat ini untuk turut memajukan bangsa dan Negara. Ia berharap kelak anaknya akan bermanfaat bagi masyarakat. Sebab ia percaya bahwa sebaik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar